Pusiknas Catat 21.945 Anak dan Remaja Berhadapan dengan Hukum Sepanjang 2025

Pusiknas Catat 21.945 Anak dan Remaja Berhadapan dengan Hukum Sepanjang 2025

Prinsip penanganan ABH harus memperhatikan konsistensi dalam upaya mewujudkan kehormatan dan harga diri anak, menegakkan penghormatan terhadap hak ABH dan kebebasan dasar lainnya.-dok. Disway-

BOGOR.DISWAY.ID - Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri mencatat sebanyak 21.945 anak dan remaja di bawah usia 20 tahun terlibat masalah hukum sepanjang Januari hingga 13 November 2025.

Dari data tersebut, mayoritas terlapor berasal dari kelompok mahasiswa (6.058 orang), disusul karyawan swasta (4.201 orang) dan pekerja sektor pertanian (1.418 orang). Sementara itu, sebanyak 145 terlapor masih berstatus pelajar.

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mendominasi dengan jumlah 19.115 orang, sedangkan perempuan tercatat 2.125 orang.

Tren Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum

Puncak kasus terjadi pada Mei 2025 dengan 2.771 terlapor. Angka sempat menurun hingga Agustus, namun kembali meningkat sejak September. Kondisi ini menunjukkan bahwa tren penurunan belum stabil dan masih rawan lonjakan.

Tiga wilayah dengan jumlah kasus tertinggi adalah:

  • Polda Sumatra Utara: 2.616 kasus
  • Polda Jawa Timur: 2.018 kasus
  • Polda Sulawesi Selatan: 1.519 kasus

Penanganan ABH dan Prinsip Keadilan Restoratif

Proses hukum bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) telah diatur dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menekankan prinsip keadilan restoratif, kepentingan terbaik bagi anak, serta menjadikan pidana penjara sebagai upaya terakhir.

Penahanan anak hanya dapat dilakukan dengan syarat ketat dan durasi singkat. Aparat juga wajib melibatkan orang tua atau wali, serta mengutamakan rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Tawuran dan Kekerasan Pelajar Kian Mematikan

Ketua KPAD Kota Bekasi, Novrian, menilai meningkatnya kekerasan dan tawuran pelajar bukan sekadar kenakalan remaja, melainkan telah masuk kategori tindak pidana serius.

Ia menyebut hilangnya ruang interaksi positif sebagai akar persoalan. Minimnya wadah kolaborasi lintas sekolah membuat remaja membangun identitas kelompok berbasis permusuhan.

“Anak-anak hari ini lebih merasa keren saat tawuran dibanding berprestasi. Ini karena tidak ada ruang kreatif yang sehat,” ujarnya.

KPAD Bekasi mendorong pencegahan melalui pendidikan karakter, deteksi dini, respon cepat, pendampingan psikologis, serta evaluasi berkelanjutan agar kekerasan pelajar tidak terus berulang.

Sumber: