Mal Sepi, Dompet Tipis: Potret Ekonomi dan Gaya Hidup Baru Kelas Menengah Indonesia

Mal Sepi, Dompet Tipis: Potret Ekonomi dan Gaya Hidup Baru Kelas Menengah Indonesia

Bukan untuk berbelanja, pergi ke mal hanya untuk melihat-lihat sambil mengajak keluarga.-dok. Bianca Khairunnisa/DISWAY.ID-

BOGOR.DISWAY.ID - Bukan untuk berbelanja — ke mal sekarang lebih sering hanya untuk melihat-lihat.

Yang penting anak dan istri senang, bisa jalan santai di lantai ber-AC sambil memandangi etalase yang berkilau.

Di antara toko-toko yang lampunya terang tapi sepi transaksi, langkah Rojali dan Rohana terdengar pelan. Anak mereka tertawa kecil di depan toko mainan, sementara mereka hanya saling pandang.

Tak ada kantong belanja. Hanya waktu, tawa kecil, dan pelarian singkat dari kerasnya hidup.

Fenomena “rombongan jarang beli” (rojali) dan “rombongan hanya nanya” (rohana) kini bukan sekadar lelucon warganet.

Ia telah menjadi cermin nyata turunnya daya beli masyarakat Indonesia.

Alarm Ekonomi dari Dalam Mal

Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menyebut fenomena ini sebagai sinyal serius bagi pemerintah.

“Mereka bukan sedang iseng. Mereka sedang bertahan di tengah sulitnya hidup. Fenomena ini adalah alarm bahwa ekonomi sedang tidak baik-baik saja,” tegas Mufti.

Hal senada d

BLT masih opsi yang baik, tapi harus diawasi ketat agar tepat sasaran,” ujarnya.

Dampak ke Jiwa dan Kehidupan Sosial

Menurut psikolog klinis Vera Itabiliana Hadiwidjojo, M.Psi., mal selama ini bukan sekadar tempat belanja — melainkan “ruang ketiga”, tempat interaksi sosial dan rekreasi publik yang murah dan aman.

“Ketika mal mulai sepi atau tutup, masyarakat kehilangan ruang sosialnya. Terjadi efek psikologis berupa kesepian dan kejenuhan,” jelasnya.

Sumber: