Kelas Menengah Menahan Diri, Mal Sepi Jadi Cermin Ekonomi Indonesia
Suasana di salah satu mal di Jakarta sepi tak ada pengunjung -dok. Anisha Aprilia (Disway.id)-
BOGOR.DISWAY.ID - Menahan diri untuk yang bukan prioritas. Belanja ini itu, nanti dulu. Prinsip itu kini menjadi pola pikir baru kelas menengah Indonesia.
Lampu neon mal masih menyala, musik lembut tetap mengalun, tetapi etalase-etalase kini lebih sering memantulkan bayangan kosong. Di tengah gemerlap yang tersisa, pusat perbelanjaan seakan menjadi cermin rapuh kondisi ekonomi dan pergeseran gaya hidup masyarakat hari ini.
Beberapa pengunjung berjalan santai, menatap etalase, melihat pakaian, lalu pergi tanpa membeli. Para penjaga toko hanya tersenyum kaku, menunggu langkah kaki yang jarang berhenti.
Bukan hanya karena lemahnya daya beli, tapi juga karena perubahan perilaku konsumsi di era digital dan ketidakpastian ekonomi pasca pandemi.
Kelas Menengah Menahan Belanja
Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), I Wayan Nuka Lantara, menyebut fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia.
“Secara global, daya beli masyarakat sedang mengalami tekanan. Di Jerman maupun Jepang, fenomenanya sama — orang lebih banyak window shopping tanpa membeli. Jadi bukan hanya di Indonesia,” ungkapnya.
Muncul istilah baru di masyarakat: “rojali” (rombongan jarang beli) dan “rohana” (rombongan hanya nanya) — simbol perilaku kelas menengah yang semakin selektif mengeluarkan uang.
Harga kebutuhan pokok yang meningkat, tekanan inflasi, serta ketidakpastian pendapatan membuat masyarakat menekan pengeluaran non-esensial seperti pakaian dan produk gaya hidup.
E-Commerce Geser Peran Mal
Fenomena lain yang mempercepat perubahan adalah kebiasaan “showrooming”, yaitu melihat barang langsung di toko lalu membelinya secara daring karena harga lebih murah.
Menurut Gigih Prihantono, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), menurunnya pengunjung mal juga dipengaruhi oleh peralihan masyarakat ke e-commerce.
“Meskipun ekonomi Indonesia mulai tumbuh, daya belinya belum kembali sepenuhnya. Orang kini lebih nyaman berbelanja online karena harga kompetitif dan praktis,” ujarnya.
Sementara itu, Gede Sandra, pengamat ekonomi dan properti dari ITB, menilai digitalisasi telah mengubah struktur industri ritel secara fundamental.
Sumber: