Debunking Toxic Masculinity: Jadi Pria Sejati Bukan Berarti Harus Keras

Debunking Toxic Masculinity: Jadi Pria Sejati Bukan Berarti Harus Keras

Ilustrasi debunking toxic masculinity.-dok. istimewa-

BOGOR.DISWAY.ID - Toxic masculinity” bukan berarti menjadi pria itu beracun, melainkan mengacu pada tekanan sosial dan budaya yang menuntut pria untuk selalu kuat, dominan, dan tidak boleh menunjukkan emosi.

Ciri-ciri umum toxic masculinity antara lain:

  • Dilarang menangis atau menunjukkan kelemahan.
  • Meremehkan empati atau kelembutan sebagai sifat “feminin”.
  • Menganggap kekerasan atau agresi sebagai tanda kekuatan.
  • Menekan pria agar selalu menjadi “pemimpin” atau “penentu”.

Padahal, konsep seperti ini justru merugikan pria dan orang di sekitarnya — baik secara emosional maupun sosial.

Dampak Negatif Toxic Masculinity

1. Menekan Emosi dan Kesehatan Mental

Banyak pria tumbuh dengan keyakinan bahwa menunjukkan emosi adalah tanda kelemahan. Akibatnya, mereka menahan stres, kesedihan, bahkan trauma — yang bisa berujung pada depresi dan kecemasan.

2. Memicu Kekerasan dan Konflik Sosial

Ketika pria merasa harus selalu dominan, hal ini bisa memicu perilaku agresif, baik di lingkungan kerja, hubungan personal, maupun masyarakat.

3. Merusak Hubungan Antarpribadi

Sulit bagi seseorang untuk membangun hubungan sehat jika tidak mampu berkomunikasi secara emosional. Toxic masculinity sering kali membuat pria tampak “dingin” atau tertutup.

4. Membatasi Potensi Diri

Banyak pria akhirnya menolak bidang atau aktivitas yang dianggap “tidak cukup maskulin” — seperti seni, perawatan diri, atau pekerjaan empatik. Padahal, potensi mereka bisa berkembang lebih luas tanpa batasan gender.

Menjadi Pria Sejati Bukan Berarti Harus Keras

Menjadi “pria sejati” bukan berarti harus selalu kuat, tidak pernah menangis, atau mendominasi orang lain.

Sumber: