Sandra menilai mal yang bertahan adalah mereka yang cepat beradaptasi — menggabungkan hiburan, kuliner, komunitas, dan interaksi sosial.
Experience Jadi Kunci Bertahan
Menurut Gede, masa depan mal bergantung pada tiga strategi utama:
Fokus pada F&B dan hiburan, menghadirkan kafe unik, restoran tematik, dan bioskop modern.
Membangun komunitas dan aktivitas sosial, seperti workshop, area coworking, hingga olahraga dalam ruangan.
Integrasi Online-to-Offline (O2O), di mana pengunjung bisa mengambil pesanan online di mal, atau mencoba produk digital secara langsung.
“Kontrak sewa yang kaku dan penolakan terhadap teknologi hanya akan mempercepat kejatuhan. Pengelola mal harus menciptakan alasan kuat agar orang mau keluar rumah,” tegasnya.
Daya Beli Melemah, UMKM Terseret
Di sisi lain, Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti akar masalah: ketidakpastian pendapatan rumah tangga.
“Ketika orang ragu akan masa depan pekerjaannya, mereka menahan konsumsi dan memilih menabung sebagai bantalan risiko,” ujarnya.
Hal ini berdampak luas — dari ritel yang melemah, pabrikan yang menunda produksi, hingga sektor perbankan yang memperketat kredit konsumsi.
Sementara Hilda, pengamat UMKM, menambahkan omzet pelaku usaha kecil menurun 30–70% karena konsumen beralih ke belanja online.
“Daya beli masyarakat turun, tapi juga ada pergeseran perilaku. Belanja kebutuhan rumah tangga kini lebih banyak lewat toko daring,” ujarnya.
Thrifting Ilegal dan Dampaknya
Pakar perkoperasian Dewi Tenty menyoroti fenomena thrifting ilegal, atau impor pakaian bekas secara ilegal, yang memperparah tekanan pada pelaku UMKM lokal.
“Ini ancaman nyata bagi UMKM tekstil. Selain merugikan ekonomi, thrifting juga menambah sampah tekstil dan merusak lingkungan,” jelasnya.