BOGOR, DISWAY.ID - Selama ini banyak yang mengira penanggulangan kemiskinan di Indonesia cukup mengandalkan bantuan pemerintah.
Nyatanya, menurut Guru Besar IPB University Prof Lala Kolopaking, kuncinya jauh lebih kompleks: ada rekayasa sosial partisipatif yang harus menjadi gerakan bersama semua pihak, bukan hanya negara atau masyarakat.
“Penanggulangan kemiskinan adalah gerakan sosial yang membutuhkan rekayasa sosial partisipatif agar kesadaran masyarakat tumbuh,” tegas Prof Lala dalam The 53rd IPB Strategic Talks baru-baru ini.
BACA JUGA:BPJS Ketenagakerjaan Salurkan Bantuan Sembako, Bupati Bogor: Simbol Semangat Gotong Royong
Prof Lala menjelaskan, ada tiga syarat agar gerakan ini berhasil:
1. Pengelolaan terencana – dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi program harus melibatkan masyarakat.
2. Masyarakat bukan objek – mereka harus menjadi subjek yang ikut menentukan arah perubahan sosial.
3. Peningkatan kesadaran dan kapasitas – perlu pendekatan yang mendorong masyarakat sadar dan mampu mengatasi masalah kemiskinan mereka sendiri.
“Selama ini banyak program tidak berjalan optimal karena masyarakat diposisikan hanya sebagai penerima bantuan, bukan bagian dari proses perubahan,” ujarnya.
Resesi Global dan Daya Beli yang Tertekan
Di forum yang sama, Prof Hermanto Siregar, Guru Besar Ekonomi Makro IPB, mengingatkan ancaman resesi global bisa menggagalkan upaya pengentasan kemiskinan.
Tekanan ekspor, naiknya pengangguran, dan harga bahan pokok yang melambung membuat daya beli masyarakat miskin kian rentan.
Solusinya?
Menurut Prof Hermanto, kebijakan fiskal dan moneter harus bersinergi: subsidi dan belanja sosial tetap dijaga, pajak progresif diberlakukan, inflasi ditekan, suku bunga stabil, dan nilai tukar aman.
“Hanya dengan cara ini pertumbuhan ekonomi yang merata bisa tercapai,” tegasnya.