Mengenal Anomali Brainrot yang Ganggu Perkembangan Anak dan Remaja, Ini Kata Ahli IPB

Rabu 02-07-2025,23:49 WIB
Reporter : Mariska Virdhani
Editor : Mariska Virdhani

Untuk melindungi anak dari dampak negatif yang ditimbulkan, Dr Melly menyarankan enam langkah yang dapat dilakukan orang tua.

Pertama, bangun literasi digital. Orang tua perlu menjelaskan bahwa konten AI seperti mimpi aneh, bukan realitas.

“Kedua, batasi akses. Aktifkan restricted mode, dengan membatasi durasi misalnya 5 menit per hari, dan hindari penggunaan gawai satu jam sebelum tidur,” ucapnya.

Ketiga, ia melanjutkan, ubah konsumsi pasif jadi aktif. Ajak anak menganalisis konten absurd. Misalnya, "Sebutkan tiga hal tidak masuk akal di video ini!"

Keempat, latih cognitive anchoring. Hubungkan konten absurd dengan fakta, seperti, "Hiu tidak berkaki, kan?"

Kelima, edukasi bahaya absurditas. Jelaskan bahwa konsumsi berlebihan bisa mengubah jalur saraf, layaknya makan permen secara terus-menerus.

Keenam, lakukan digital detox. Dr Melly menuturkan, apabila konsumsi sudah tak terkendali, matikan internet selama 3–7 hari dan ganti dengan aktivitas fisik atau sosial langsung.

Istilah “brain rot” sendiri mencerminkan kondisi psikologis akibat gaya hidup digital masa kini yang dipenuhi scrolling tanpa henti, menonton secara maraton, dan multitasking.

Kata Dr Melly, “Perilaku ini menyebabkan cognitive overload, kelelahan mental, dan berkurangnya fokus. Paparan berlebihan terhadap video berdurasi pendek mengubah preferensi otak terhadap stimulasi cepat.”

Karena itu, ia menambahkan, penting bagi orang tua mengenali gejala awal “brain rot”. Gangguan ini dapat muncul dalam bentuk kognitif, bahasa, emosi, maupun sosial. 

“Anak bisa sulit konsentrasi, sering lupa instruksi sederhana, bicaranya patah-patah, atau kosakatanya menyusut. Secara emosional, mereka bisa tertawa histeris saat online tetapi datar ketika diajak bicara. Ada juga yang marah ketika gadget diambil,” jelasnya.

BACA JUGA: Keren Nih! Profesor IPB Temukan Cabai Keriting Tahan Virus, Masih Tetap Pedas Gak?

Ia juga mengingatkan bahwa setiap usia menunjukkan gejala berbeda.

“Balita mungkin meniru gerakan absurd yang mereka lihat. Anak usia SD bisa mengalami penurunan nilai drastis. Sementara remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa meme,” pungkasnya. 

 

Kategori :