Yang lebih mengerikan, logam berat ini dapat terakumulasi dalam tubuh ikan, dan naik dalam rantai makanan hingga akhirnya masuk ke tubuh manusia.
Ini bukan cuma soal laut, tapi juga masalah kesehatan masyarakat.
Gangguan lain datang dari lalu lintas kapal tambang.
Kapal-kapal besar dapat merusak alat tangkap nelayan, memicu kebisingan yang mengganggu migrasi ikan, hingga meningkatkan risiko tumpahan minyak.
Tak hanya itu, konflik ruang antara aktivitas industri dan perikanan tradisional di wilayah pesisir pun sulit dihindari.
“Laut bukan tempat yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Jika habitat rusak, kerapu bisa hilang. Dampaknya bukan hanya ekologis, tapi juga ekonomi dan sosial,” tegas Prof Dietriech.
Dalam konteks budi daya, kualitas air yang buruk menyebabkan stres pada ikan, meningkatkan risiko penyakit, dan akhirnya bisa memicu kematian massal.
BACA JUGA:Wisata Raja Ampat: 7 Rahasia Surga Tersembunyi Papua yang Bikin Traveler Dunia Penasaran!
Ini jelas menjadi kerugian besar, baik bagi petani ikan, pelaku ekspor, maupun masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari laut.
Prof Dietriech menutup peringatannya dengan ajakan kuat untuk melindungi laut Raja Ampat.
“Raja Ampat adalah simbol. Kalau kita gagal melindungi tempat seindah dan sepenting ini, maka kita gagal menjaga masa depan perikanan Indonesia,” tandasnya.